Bila
diperhatikan realitas yang ada pada zaman sekarang, terlihat fenomena bahwa
masalah keteladanan kurang mendapat perhatian yang sungguh di kalangan para
pendidik. Para pendidik dalam berbagai jalur pendidikan berusaha keras untuk mentransfer
berbagai ilmu dan keterampilan kepada peserta didik dan seolah-olah mereka
sudah merasa puas dengan prestasi akademik dan skill yang diraih oleh anak-anak
mereka. Persoalan akhlak nyaris luput dari perhatian para pendidik. Bahkan ada
pendidik yang memicu kerusakan akhlak di kalangan peserta didik dengan
menampilkan akhlak-akhlak tercela dalam lingkungan peserta didiknya.
Keteladanan
merupakan alat yang efektif dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Bila dicermati
sejarah pendidikan Islam pada zaman Rasulullah Saw, dapat dipahami bahwa salah
satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada keberhasilannya adalah
keteladanan (uswah). Rasulullah sangat banyak menggunakan keteladanan dalam
mendidik para sahabatnya.
Bila
dikaitkan dengan tujuan pengajaran (ranah kognitif, afektif dan psikomotor),
akhlak berada pada ranah afektif dan psikomotor. Setiap pendidik seyogianya
berusaha keras untuk membina akhlak ini sebagaimana juga ia mengerahkan
kemampuannya untuk menambah ilmu pengetahuan anak dan membentuk sikap serta
keterampilan yang lain. Akhlak justru merupakan jiwa pendidikan Islam.
Dalam
kehidupan ini, manusia banyak belajar tentang berbagai kebiasaan dan tingkah
laku melalui proses peniruan terhadap kebiasaan dan tingkah laku kedua orang
tua dan saudara-saudaranya. Anak mulai mempelajari bahasa dengan meniru kedua
orang tua dan saudara-saudaranya dengan mengucapkan kata-kata secara berulang
kali. Tanpa terbiasa mendengar orang mengucapkan suatu kata, manusia tidak bisa
berbahasa lisan.
Model
selalu menjadi guru yang baik dan yang diperbuat seseorang dapat berdampak
luas, lebih jelas dan lebih berpengaruh daripada yang dikatakan. Hal itu mudah
dipahami mengingat kecenderungan meniru yang ada pada setiap manusia, bukan
saja pada anak-anak melainkan juga orang dewasa. Perbedaannya adalah dalam
intensitasnya. Orang dewasa meniru sambil menyeleksi dan memodifikasi
seperlunya. Lain halnya dengan anak-anak. Dalam segala hal anak merupakan
peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan
keagamaan pada anak. Anak-anak pada usia tertentu cenderung meniru dan
mengambil alih apa saja yang ada, tanpa mengetahui manfaat dan mudaratnya.
Dilihat
dari segi sifatnya dapat dibedakan dua macam keteladanan, yaitu sengaja dan
tidak sengaja. Keteladanan yang disengaja adalah keadaan yang sengaja diadakan
oleh pendidik agar diikuti atau ditiru oleh peserta didik, seperti memberikan
contoh membaca yang baik dan mengerjakan salat dengan benar. Keteladanan ini
disertai penjelasan atau perintah agar diikuti. Keteladanan yang tidak
disengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan dan
sebagainya. Dalam pendidikan Islam, kedua macam keteladanan tersebut sama
pentingnya. Keteladanan yang tidak disengaja dilakukan secara informal,
sedangkan yang disengaja dilakukan dengan formal. Keteladanan yang dilakukan
secara informal itu kadang-kadang lebih efektif daripada yang formal.
Keteladanan
merupakan teknik pendidikan yang efektif dan sukses. Hal itu berlaku terutama
bagi anak-anak usia sekolah. Hal itu disebabkan oleh ketertarikan dan
kesenangan anak. Anak-anak pada masa usia sekolah tertarik dan senang dengan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang mereka lihat dikerjakan oleh orang dewasa
dalam lingkungan mereka.
Pendidikan
akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti
yang mulia (akhlaq karimah). Proses tersebut tidak terlepas dari pembinaan
kehidupan beragama peserta didik secara totalitas.
Keteladanan
yang baik sangat penting dalam pembinaan akhlak. Dengan kecenderungan senang
menirunya, anak mudah mereduplikasi apa saja yang dilihatnya, bukan hanya yang
baik, melainkan juga yang jelek. Sehubungan dengan ini, pendidik harus
memanfaatkan peluang, baik dengan penampilan pribadinya maupun dengan
mengkondisikan lingkungan sekitar anak.
Bila
anak sering melihat orang tuanya saling menolong dan bergaul dengan baik, maka
anak dengan mudah berprilaku seperti itu pula. Ucapan yang sering didengar anak
sangat mudah ditirunya. Setelah sering meniru, apa yang ditiru akan menjadi
kebiasaan dalam kehidupan anak. Kebiasaan merupakan hal sulit ditinggalkan
begitu saja.
Sebagai
bukti tentang urgensi keteladanan dapat dilihat dalam kenyataan. Dalam kelompok
anak yang sering berbicara kasar dan tidak sopan, sulit ditemukan anak yang
lemah lembut dan sopan. Kondisi rumah tangga yang tidak harmonis dan selalu
diwarnai oleh pertengkaran berpeluang besar untuk melahirkan anak yang kasar.
Bila
orang tua mendambakan anaknya menjadi seorang yang dermawan, maka ia harus
memperlihatkan perilaku suka memberi kepada anaknya. Ingat! Bila anak melihat
orang tuanya mengusir pengemis, maka kelah ia akan seperti itu pula. Bahkan
mungkin lebih kasar lagi. Oleh sebab itu, orang tua perlu hati-hati dalam
bertindak karena tindakannya yang diketahui oleh anak sangat besar pengaruhnya. (M.Wahyu