Rabu, 28 November 2012

PUISI UNTUK GURU


Guruku
Oleh : Nia Kania A. A.
 
Engkau Guruku yang lahir dari ketulusan dan jiwa luhur,
Membimbingku menatap luasnya ilmu dan dalamnya pengetahuan.
Menuntunku dalam ketakwaan, kesopanan, kesusilaan dan adab yang luhur.
Engkau mengajarkan tutur kalimat indah yang lembut.
Menaburkan benih-benih kasih yang tiada lelah.


Guruku,
Engkau adalah penumbuh kuat sayapku agar bisa terbang jauh menuju luasnya dunia.
Engkau adalah obor dikala gelap pengetahuanku menemui kepekatan.
Enam tahun sudah aku menimba ilmu.
Enam tahun sudah aku dan teman-temanku kau tuntun dengan kesucian jiwamu.
Setiap lembar kertas kutulis darimu untuk bekal menyongsong masa depan.
Agar aku dan teman-temanku kuat menapak mantap meraih kemenangan.

Kini saatnya kuucapkan rasa terima kasihku yang tiada tara.
Kupersembahkan hadiah sebait puisi untukmu.
Agar menjadi kenangan diantara kita bahwa pernah terjalin sebentuk kasih.
Perpisahan ini bukanlah putusnya hubungan kita,
Tetapi aku ingin melangkah menuju jenjang yang lebih tinggi.
Aku akan selalu mengenangmu seputih jiwamu.
Semoga Allah membalas semua kebaikan dan kebijaksaanmu,
Semoga Allah membalas semua ketulusanmu dan pengabdianmu.


MI MUHAMMADIYAH PANGGUL KAB. TRENGGALEK
MENGUCAPKAN :

SELAMAT HARI GURU NASIONAL






Kamis, 01 November 2012

KETELADANAN PADA ANAK



Bila diperhatikan realitas yang ada pada zaman sekarang, terlihat fenomena bahwa masalah keteladanan kurang mendapat perhatian yang sungguh di kalangan para pendidik. Para pendidik dalam berbagai jalur pendidikan berusaha keras untuk mentransfer berbagai ilmu dan keterampilan kepada peserta didik dan seolah-olah mereka sudah merasa puas dengan prestasi akademik dan skill yang diraih oleh anak-anak mereka. Persoalan akhlak nyaris luput dari perhatian para pendidik. Bahkan ada pendidik yang memicu kerusakan akhlak di kalangan peserta didik dengan menampilkan akhlak-akhlak tercela dalam lingkungan peserta didiknya.

Keteladanan merupakan alat yang efektif dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Bila dicermati sejarah pendidikan Islam pada zaman Rasulullah Saw, dapat dipahami bahwa salah satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada keberhasilannya adalah keteladanan (uswah). Rasulullah sangat banyak menggunakan keteladanan dalam mendidik para sahabatnya.

Bila dikaitkan dengan tujuan pengajaran (ranah kognitif, afektif dan psikomotor), akhlak berada pada ranah afektif dan psikomotor. Setiap pendidik seyogianya berusaha keras untuk membina akhlak ini sebagaimana juga ia mengerahkan kemampuannya untuk menambah ilmu pengetahuan anak dan membentuk sikap serta keterampilan yang lain. Akhlak justru merupakan jiwa pendidikan Islam.

Dalam kehidupan ini, manusia banyak belajar tentang berbagai kebiasaan dan tingkah laku melalui proses peniruan terhadap kebiasaan dan tingkah laku kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Anak mulai mempelajari bahasa dengan meniru kedua orang tua dan saudara-saudaranya dengan mengucapkan kata-kata secara berulang kali. Tanpa terbiasa mendengar orang mengucapkan suatu kata, manusia tidak bisa berbahasa lisan.

Model selalu menjadi guru yang baik dan yang diperbuat seseorang dapat berdampak luas, lebih jelas dan lebih berpengaruh daripada yang dikatakan. Hal itu mudah dipahami mengingat kecenderungan meniru yang ada pada setiap manusia, bukan saja pada anak-anak melainkan juga orang dewasa. Perbedaannya adalah dalam intensitasnya. Orang dewasa meniru sambil menyeleksi dan memodifikasi seperlunya. Lain halnya dengan anak-anak. Dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. Anak-anak pada usia tertentu cenderung meniru dan mengambil alih apa saja yang ada, tanpa mengetahui manfaat dan mudaratnya.

Dilihat dari segi sifatnya dapat dibedakan dua macam keteladanan, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang disengaja adalah keadaan yang sengaja diadakan oleh pendidik agar diikuti atau ditiru oleh peserta didik, seperti memberikan contoh membaca yang baik dan mengerjakan salat dengan benar. Keteladanan ini disertai penjelasan atau perintah agar diikuti. Keteladanan yang tidak disengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan dan sebagainya. Dalam pendidikan Islam, kedua macam keteladanan tersebut sama pentingnya. Keteladanan yang tidak disengaja dilakukan secara informal, sedangkan yang disengaja dilakukan dengan formal. Keteladanan yang dilakukan secara informal itu kadang-kadang lebih efektif daripada yang formal.

Keteladanan merupakan teknik pendidikan yang efektif dan sukses. Hal itu berlaku terutama bagi anak-anak usia sekolah. Hal itu disebabkan oleh ketertarikan dan kesenangan anak. Anak-anak pada masa usia sekolah tertarik dan senang dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang mereka lihat dikerjakan oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.

Pendidikan akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlaq karimah). Proses tersebut tidak terlepas dari pembinaan kehidupan beragama peserta didik secara totalitas.

Keteladanan yang baik sangat penting dalam pembinaan akhlak. Dengan kecenderungan senang menirunya, anak mudah mereduplikasi apa saja yang dilihatnya, bukan hanya yang baik, melainkan juga yang jelek. Sehubungan dengan ini, pendidik harus memanfaatkan peluang, baik dengan penampilan pribadinya maupun dengan mengkondisikan lingkungan sekitar anak.
Bila anak sering melihat orang tuanya saling menolong dan bergaul dengan baik, maka anak dengan mudah berprilaku seperti itu pula. Ucapan yang sering didengar anak sangat mudah ditirunya. Setelah sering meniru, apa yang ditiru akan menjadi kebiasaan dalam kehidupan anak. Kebiasaan merupakan hal sulit ditinggalkan begitu saja.
Sebagai bukti tentang urgensi keteladanan dapat dilihat dalam kenyataan. Dalam kelompok anak yang sering berbicara kasar dan tidak sopan, sulit ditemukan anak yang lemah lembut dan sopan. Kondisi rumah tangga yang tidak harmonis dan selalu diwarnai oleh pertengkaran berpeluang besar untuk melahirkan anak yang kasar.
Bila orang tua mendambakan anaknya menjadi seorang yang dermawan, maka ia harus memperlihatkan perilaku suka memberi kepada anaknya. Ingat! Bila anak melihat orang tuanya mengusir pengemis, maka kelah ia akan seperti itu pula. Bahkan mungkin lebih kasar lagi. Oleh sebab itu, orang tua perlu hati-hati dalam bertindak karena tindakannya yang diketahui oleh anak sangat besar pengaruhnya. (M.Wahyu

Senin, 16 April 2012

BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA


Allah SWT berfirman yang atinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu berkata 'ah' kepada mereka dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka telah mendidik aku waktu kecil"." (Al-Israa': 23-24).
Kewajiban mengesakan Allah (tauhid) adalah suatu kewajiban yang mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Tauhid adalah inti utama ajaran Islam. Di atasnya berdiri segala pokok dan cabang-cabang ajaran Islam. Tidaklah berarti amal seseorang jika ia berbuat syirik terhadap Allah, karena syirik dapat menghapus segala kebajikan yang telah dibuat. Bahkan, Allah tidak memberi ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan syirik. Oleh karena itu, perintah untuk hanya menyembah dan mengesakan Allah selalu dikedepankan agar segala kebajikan yang dilakukan setelah itu diterima di sisi Allah. Lagi pula, tidaklah pantas manusia menyekutukan Allah dengan apa pun, karena segala seuatu selain Allah adalah ciptaan-Nya.
Selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Taala memerintahkan kita untuk berbakti kepada orang tua dengan sebaik-baiknya. Dalam beberapa ayat Alquran, perintah berbakti kepada orang tua selalu berada setelah perintah menyembah dan mengesakan Allah semata. Hal ini sangat tegas dalam menyatakan begitu pentingnya dan tingginya kedudukan orang tua terhadap anaknya di sisi Allah. Semua orang tahu arti dan nilai orang tua bagi mereka, namun karena manusia ini banyak yang zalim dan bodoh, banyak pula yang melalaikan orang tua dan mempergaulinya dengan buruk.
Kalaulah kita sejenak merenung, mengapa harus berbakti kepada orang tua, niscaya kita akan mendapatkan banyak alasan yang tak dapat kita pungkiri. Namun, saat ini banyak sekali anak-anak yang tak mengerti bagaimana berbakti kepada orang tua. Membantah menjadi hal yang biasa karena banyak gurunya di televisi, begitu juga mengabaikan orang tua dan sebagainya.
Allah kemudian melarang kita mengucapkan "ah" kepada orang tua kita. Nah, jika mengucapkan "ah" saja tidak boleh, maka kata-kata atau perbuatan yang lebih jelek dari itu tentu saja tidak boleh. Kemudian, diikuti dengan larangan membentak dan menghardik, dan tentu saja semua orang tahu bahwa hal itu tidak baik. Meski demikian, banyak orang yang lalai kalau tidak diperingatkan. Kemudian Allah memerintahkan kita untuk mengucapkan kata-kata yang penuh kemuliaan dan kasih sayang kepada mereka.
Allah sebutkan bahwa semua itu jika mereka telah berusia lanjut. Hal ini bukan berarti ketika orang tua masih muda kemudian kita boleh saja mengucapkan "ah" dan lain sebagainya. Bukan begitu maksudnya. Disebutkan, masa tua adalah karena secara umum pada masa itulah orang tua banyak menyibukkan anak dan butuh perhatian lebih dari anaknya. Itu karena mereka sudah lemah dan butuh bantuan orang lain. Tentunya yang berkewajiban membantu adalah anak-anaknya pertama kali. Nah, pada situasi seperti inilah biasanya anak-anaknya banyak yang tidak sabar dalam melayani kebutuhan orang tuanya. Sering terjadi mereka malah mengeluh dan kesal, lalu akhirnya mulai mengeluh di hadapan orang tuanya itu dan bahkan mengumpat serta menghardik. Ketidakpedulian inilah yang membuat banyak orang tua di Barat dikirim ke panti-panti jompo oleh anak-anaknya, karena sang anak lebih mengutamakan kebebasan semu dari pada bakti kepada orang tuanya. Hal ini perlu kita waspadai agar tidak terjadi pada diri dan keluarga kita. Kejadian sepeti itu tak terbantahkan serta tak terobati sakitnya bagi orang tua, telebih lagi jika diabaikan anaknya sendiri.
Setelah perintah berkata-kata yang mulia dan baik, Allah memerintahkan kita untuk bersikap rendah diri dan penuh kasih sayang kepada mereka, terutama pada masa usia lanjut. Karena, pada saat itulah mereka lebih membutuhkannya. Bukankah pada masa mudanya merekalah yang lebih banyak memberi kita kasih sayang? Kemudian, diikuti oleh perintah untuk berdoa bagi mereka, yaitu mendoakan agar Allah memberikan rahmat kasih sayang-Nya kepada mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah mendidik sang anak dengan penuh kasih sayang waktu kecil dulu. Lafal ayat ini bisa kita jadikan doa untuk orang tua kita, "Rabbirhamhuma kamaa rabbayaanii shagiira." Artinya: "Tuhanku... rahmatilah mereka berdua (kedua orang tuaku) sebagaimana mereka telah mendidikku waktu kecil."
Sudahkan kita mendoakan orang tua kita setiap selesai salat lima waktu atau di lain kesempatan? Apa yang telah kita lakukan untuk orang tua kita? Sudahkah kita membayangkan apa yang akan terjadi pada kita jika hidup tanpa orang tua? Apakah jasa-jasanya telah kita balas? Mampukah kita membalasnya? Ataukah harta dan kekayaan kita mampu menggantikan segala jasa orang tua kita? Masih banyak pertanyaan yang perlu kita renungkan dan camkan pada diri kita. Wallahu al-musta'aan.